Sabtu, 03 Desember 2016

DINAMIKA NEGARA KEBANGSAAN INDONESIA




BAB II
PEMBAHASAN
A.    DINAMIKA NEGARA KEBANGSAAN INDONESIA
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah kurang lebih 13.677 pulau terbentang dari Sabang sampai Merauke. Secara geografis letak Indonesia berada dalam posisi yang strategis karena berada pada jalur predagangan dunia. Potensi sumber daya alam Indonesia juga tidak kalah dengan negara-negara lain, baik migas maupun non migas. Dari segi sumber daya manusia Indonesia memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak, dari beraneka ragam suku bangsa dan mempunyai kebudayaan yang unik.
Namun ironis jika kita melihat kondisi bangsa Indonesia saat ini, Indonesia dengan potensi baik sumber daya alam dan sumber daya manusia yang baik justru mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran. Konflik-konflik masih sering terjadi, dan seperti menjadi agenda rutin bangsa Indonesia. Adanya gerakan pemberontakan di Indonesia bukanlah menjadi hal baru bagi bangsa Indonesia, kita lihat pada zaman orde lama ada pemberontakan gerakan 30 September, disusul oleh DI/TII, GAM, RMS dan lain-lain, dan semuanya diselesaikan melalui cara “khas” pemerintah Indonesia yaitu melalui senjata. Sepintas penumpasan gerakan pemberontakan melalui operasi militer tersebut terlihat efektif, namun pada kenyataannya tindakan tersebut tidak menyentuh sama sekali esensi permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia. Doktrin NKRI adalah harga mati tidak disertai pemahaman yang mendalam tentang arti penting integrasi bangsa, yang selama ini ditanamkan hanyalah integrasi kewilayahan semata.

Ada beberapa Dinamika dalam sistem politik di Indonesia sejak tahun 1945 hingga sekarang adalah sebagai berikut:
1.      Sistem pemerintahan periode 1945-1949
Lama Periode                    : 18 Agustus 1945-27 Desember 1949
Bentuk Negara                  : Kesatuaan
Bentuk Pemerintahan        : Republik
Sistem Pemerintahan         : Presidensial
Konstitusi                          : UUD 1945
2.      Sistem Pemerintahan Periode 1949-1950
Lama Periode                    : 27 Desember 1949-15 Agustus 1950
Bentuk Negara                  : Serikat(Federasi)
Bentuk Pemerintahan        : Republik
Sistem Pemerintahan         : Parlementer
Konstitusi                          : Konstitusi RIS
3.      Sistem Pemerintahan Periode 1950-1959
Lama Periode                    : 15 Agustus 1950-5 Juli 1959
Bentuk Negara                  : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan        : Republik
Sistem Pemerintahan         : Parlementer
Konstitusi                          : UUDS 1950
4.      Sistem Pemerintahan Periode 1959-1966(Orde Lama)
Lama Periode                    : 5 Juli 1959-22 Februari 1966
Bentuk Negara                  : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan        : Republik
Sistem Pemerintahan         : Presidensial
Konstitusi                          : UUD 1945
5.      Sistem Pemerintahan Periode 1966-1998(Orde Baru)
Lama Periode                    : 22 Februari 1966-21 Mei 1998
Bentuk Negara                  : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan        : Republik
Sistem Pemerintahan         : Presidensial
Konstitusi                          : UUD 1945
6.      Sistem Pemerintahan Periode 1998-Sekarang
Lama Periode                    : 21 Mei 1998-Sekarang
Bentuk Negara                  : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan        : Republik
Sistem Pemerintahan         : Presidensial
Konstitusi                          : UUD 1945


Dinamika Negara-bangsa Indonesia: Masa Sentralisasi dan Fase Awal Otonomi Dareah Masa Sentralisasi

Sembilan dinamika kehidupan negara-bangsa Indonesia pada masa sentralisasi khususnya masa Orde Baru sebagai berikut:

1.      Pembangunan ekonomi dalam artian pertumbuhan ekonomi berjalan baik. Pemerintah Orde Baru berhasil memperbaiki situasi ekonomi dari keterpurukan pada akhir masa Orde Lama, ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang pesat, menaiknya pendapatan perkapita penduduk dan menurunnya angka kemiskinan secara berarti. Menurut booth (2000).

2.      Walaupun pertumbuhan ekonomi tinggi dan angka kemiskinan menurun, pemerataan ekonomi tidak terjadi. Hal yang terjadi adalah ketimpangan ekonomi yang besar. Terjadi ketimpangan ekonomi antara perkotaan dengan perdesaan. Menurut booth (2000:75-77), dan antara Pulau Jawa dengan luar Pulau Jawa.

3.      Ciri yang menonjol lain semasa sentralisasi utamanya semasa Orde Baru adalah terciptanya keamanan yang kuat, ditandai oleh beberapa hal. Pertama, konflik-konflik agraria tidak banyak terjadi dan apabila terjadi hanya dalam waktu yang tidak lama. Akibatnya, para investor perkebunan, pertambangan dan real estate aman dari gangguan penduduk tempatan. Kedua, konflik antara buruh dengan perusahaan juga jarang terjadi, sehingga perusahaan aman dari gangguan buruh. Ketiga, konflik SARA hampir tidak terjadi. Pada saat itu terkesan terjadi integrasi yang baik. Akan tetapi, benarlah kritikan para ahli pada masa itu bahwa ketiadaan konflik yang berarti hanyalah integrasi semu. Terbukti ketika negara lemah pada tahun 1998, konflik-konflik menjamur bak cendawan tumbuh setelah musim penghujan. Ternyata keamanan yang tercipta pada zaman Orde Baru adalah situasi yang dipaksakan dengan kekerasan yang dilakukan oleh tentara dan polisi, bukan atas kesepakatan bersama dan dengan kesukarelaan.

4.      Pada masa sentralisasi, perencanaan pembangunan terpusat di pemerintah pusat dengan kekuatan tawar yang lemah dari pemerintah kabupaten/kota dan provinsi terhadap kebijakan yang dibuat. Akibatnya, muncul kebijakan pemerintah yang tidak responsif terhadap situasi lokalitas. Menurut Schiler (2002:4), seorang ahli politik lokal dari Australia, sebagai ketidakpekaan yang tersentralisasi. Formula-formula pembangunan semua mengalir dari pusat ke daerah-daerah. Tidak berarti pemerintah daerah pasif, tetapi kreativitas aparatur pemerintah lokal hanya terbatas pada implementasi kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat (Lih. Schiller 1996 dan Hidayat 2000).

5.      Pada masa sentralisasi, kontrol sosial oleh pemerintah lokal terhadap situasi lokal lemah. Kontrol pada dasarnya berada ditangan instansi-instansi pemerintah pusat. 

6.      Didaerah terbuka hanya sedikit kesempatan bagi orang-orang awam untuk mengekspresikan perasaan mereka tentang kesenjangan kelas, agama dan etnisitas. Hal ini disebabkan oleh penyampaian aspirasi mereka diredam dengan kekerasan oleh pemerintah.

7.      Terjadi pengikisan lokalitas secara terstruktur. Cara-cara pengelolaan kehidupan ala lokalitas tidak diakui dan bahkan disingkirkan dengan strategi homogenisasi, upaya penyeragaman di seluruh daerah. Penerapan Undang-undang Pemerintah Daerah No.5/1979 adalah salah satu contoh penyeragaman tersebut. Diberlakukannya penyeragaman organisasi pegawai negari (KORPRI), Karang Taruna sebagai organisasi pemuda, PKK sebagai organisasi perempuan dan P3A sebagai organisasi petani pengguna air dengan struktur yang sama merupakan contoh-contoh lain dari penyeragaman tersebut. 

8.      Ciri lain era sentralisasi yaitu, lemahnya masyarakat sipil. Tidak ada perlawanan yang berarti dari rayat atas kebijakan dan perbuatan aparatur negara. Walaupun terjadi gejolak pada awal 1990an, gejolak tersebut sebentar dan tidak menggoyahkan kekuasaan pemerintah. Sepertinya semua orang manut dan cuek terhadap pemerintah. Media menjadi penyalur informasi dari pemerintah dan organisasi masyarakat sipil tidak berkembang. Kalaupun berkembang, pekerjaan mereka lebih terfokus kepada pembangunan dan penyaluran bantuan (lih Eldrige 1999). Memakai istilah Schiller (2001), negara pada saat itu menjadi penentu daya. Dalam situasi seperti ini, tercipta suasana yang sangat mengenakkan bagi pemerintah. Berbuatlah apa yang kamu suka, kamu akan aman, karena masyarakat akan diam.

9.      Ciri yang lain adalah pekerjaan aparatur pemerintah berkualitas rendah. Pada masa itu muncul sinyalemen bahwa pekerjaan aparatur pemerintnah ABS (Asal Bapak Senang) yang berarti pekerjaan dilakukan untuk memuaskan atasan bukan rakyat sebagai orang yang dilayani. Semua orang hanya berusaha untuk menyenangkan atasan dengan melakukan apapun termasuk apa yang disebut sebagai “menjilat” untuk menyenangkan atasan mereka. Konsekeuensinya, kualitas pelayanan publik dan pembangunan tidak menjadi pertimbangan utama aparatur pemerintah

          Pancasila dan Primordialisme
Fenomena lain yang dapat dilihat sebagai permasalahan bangsa Indonesia adalah lunturnya kepercayaan warga negara Indonesia terhadap Pancasila, atau bisa disebut pudarnya nasionalisme warga negara. Pancasila memang pada awalnya didesain untuk menampung seluruh keanekaragaman kebudayaan bangsa Indonesia sekaligus sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara tiap-tiap warga negaranya. Pancasila dipahami sebagai esensi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, namun seberapa efektif nilai-nilai luhur bangsa Indonesia tersebut dapat selaras dengan implementasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Adalah kenyataan bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beraneka ragam, di atas ribuan pulau, dari Sabang sampai Merauke hidup ratusan suku, bahasa, dan etnik, yang menganut berbagai agama, tetapi dari keanekaragaman tersebut Indonesia rawan konflik. Konflik dapat berbentuk primordial bersifat horizontal, misalnya antar suku, sentimen agama, antara penduduk asli dan pendatang. Tetapi ada juga konflik yang bersifat vertikal, yaitu antara rakyat biasa dengan penguasa yang dapat dikenal antara “masyarakat” dan “mereka”. Dengan begitu sudah tentulah bangsa Indonesia menuju disintegrasi, kesadaran masyarakat akan heterogenitas semakin menurun, bahkan banyak yang merasa acuh tak acuh.
Rezim orde baru menekan perilaku politik masyarakat yang sebetulnya sangat mendasar seperti harapan, tuntutan, kritik, dan penolakan terhadap pemerintah. “Mereka” seakan – akan tidak peduli dengan “kami”, “mereka” membangun untuk mereka sendiri, sedangkan “kami” tidak dapat menikmatinya karena merasa sama sekali tidak dilibatkan dalam pembangunan itu. Kemudian muncullah perpecahan sosial yang sangat rentan diprovokasi oleh segelintir pihak dan mempunyai akibat yang sangat memprihatinkan seperti kerusuhan, perusakan, pembakaran, penjarahan, jika sudah begitu masyarakat memikirkan dirinya sendiri, ada yang asyik menjarah benda – benda berharga dan ada juga yang “asyik” merinding melihat sisi gelap manusia, inikah sebenarnya potret bangsa Indonesia? Yang katanya makmur oleh pembangunan, tetapi di balik tembok kemakmuran ada kemelaratan, ketertindasan individu atau golongan akibat perbedaan status sosial maupun status politik masyarakat. Tercermin dari sana identitas kita sebagai bangsa Indonesia adalah samar – samar, rasa sebagai satu kesatuan tampak memudar.
Kebangsaan secara hakiki hidup dari penghayatan. Suatu bangsa mempunyai identitas atau disebut “identitas kebangsaan”. Bangsa Indonesia memiliki identitas kebangsaan berupa beranekaragamnya suku, kelompok etnis, golongan agama, budaya, bahasa, dan membentuk identitas primordial. Primordial yang merupakan ketertanaman nilai – nilai, perasaan – perasaan, wawasan – wawasan yang tersosialisasikan sejak kecil merupakan syarat keutuhan personal dan psikis seseorang. Tetapi akan berbeda lagi jika primordialisme tersebut berkembang menjadi primordialisme fanatik, manusia sudah tidak menganggap lagi pluralitas sebagai kesatuan bangsa, keterikatan primordial menjadi lebih dominan di dalam dirinya, berbahaya karena akan ada kecenderungan menguasai golongan lain karena merasa dirinya ( dalam konteks individu ) atau golongannya ( dalam konteks sosial ) lebih baik dari yang lain. Konflik horizontal seperti penyerangan-penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah, pembakaran Pura umat Hindu di Lombok, pembubaran pengajian Syi’ah di Pasuruan sebenarnya tidak perlu terjadi jika adanya pemahaman toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan nilai tersebut sudah tercantum dalam Pancasila mulai dari sila pertama sampai kelima yang tidak dapat terpisahkan.
Oleh karena itu untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan sebagai bangsa yang pluralis dibutuhkan demokrasi dan keadilan sosial, dengan keterbukaan di mana harapan, tuntutan, kritikan, dan penolakan masyarakat dapat terungkap dan tersalurkan sehingga terbangunlah interaksi kita sebagai bangsa Indonesia yang lebih komunikatif dan adil. Segala bentuk ego primordialisme dapat ditekan, dan dengan menyadari kepluralan bangsa Indonesia kita merupakan integrasi yang kuat dan mempunyai identitas sosial. Keterikatan sebagai satu bangsa menumbuhkan rasa nasionalisme, tinggal bagaimana caranya rasa nasionalisme ini dikelola sehingga bermanfaat bagi kelangsungan bangsa dan negara Indonesia, bukan sebaliknya, rasa nasionalisme berlebihan “memicu” primordialisme fanatik sebagai bangsa Indonesia di antara bangsa – bangsa yang lain yang ada di dunia.