BAB II
PEMBAHASAN
A.
DINAMIKA NEGARA KEBANGSAAN INDONESIA
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah
kurang lebih 13.677 pulau terbentang dari Sabang sampai Merauke. Secara
geografis letak Indonesia berada dalam posisi yang strategis karena berada pada
jalur predagangan dunia. Potensi sumber daya alam Indonesia juga tidak kalah
dengan negara-negara lain, baik migas maupun non migas. Dari segi sumber daya
manusia Indonesia memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak, dari beraneka
ragam suku bangsa dan mempunyai kebudayaan yang unik.
Namun ironis jika kita melihat kondisi bangsa
Indonesia saat ini, Indonesia dengan potensi baik sumber daya alam dan sumber
daya manusia yang baik justru mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran.
Konflik-konflik masih sering terjadi, dan seperti menjadi agenda rutin bangsa
Indonesia. Adanya gerakan pemberontakan di Indonesia bukanlah menjadi hal baru
bagi bangsa Indonesia, kita lihat pada zaman orde lama ada pemberontakan
gerakan 30 September, disusul oleh DI/TII, GAM, RMS dan lain-lain, dan semuanya
diselesaikan melalui cara “khas” pemerintah Indonesia yaitu melalui senjata.
Sepintas penumpasan gerakan pemberontakan melalui operasi militer tersebut
terlihat efektif, namun pada kenyataannya tindakan tersebut tidak menyentuh
sama sekali esensi permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia. Doktrin NKRI
adalah harga mati tidak disertai pemahaman yang mendalam tentang arti penting
integrasi bangsa, yang selama ini ditanamkan hanyalah integrasi kewilayahan
semata.
Ada beberapa Dinamika dalam sistem politik di
Indonesia sejak tahun 1945 hingga sekarang adalah sebagai berikut:
1.
Sistem pemerintahan periode
1945-1949
Lama Periode :
18 Agustus 1945-27 Desember 1949
Bentuk Negara :
Kesatuaan
Bentuk Pemerintahan :
Republik
Sistem Pemerintahan :
Presidensial
Konstitusi :
UUD 1945
2.
Sistem Pemerintahan Periode
1949-1950
Lama Periode :
27 Desember 1949-15 Agustus 1950
Bentuk Negara :
Serikat(Federasi)
Bentuk Pemerintahan :
Republik
Sistem Pemerintahan :
Parlementer
Konstitusi :
Konstitusi RIS
3.
Sistem Pemerintahan Periode
1950-1959
Lama Periode :
15 Agustus 1950-5 Juli 1959
Bentuk Negara :
Kesatuan
Bentuk Pemerintahan :
Republik
Sistem Pemerintahan :
Parlementer
Konstitusi :
UUDS 1950
4.
Sistem Pemerintahan Periode
1959-1966(Orde Lama)
Lama Periode :
5 Juli 1959-22 Februari 1966
Bentuk Negara :
Kesatuan
Bentuk Pemerintahan :
Republik
Sistem Pemerintahan :
Presidensial
Konstitusi :
UUD 1945
5.
Sistem Pemerintahan Periode
1966-1998(Orde Baru)
Lama Periode :
22 Februari 1966-21 Mei 1998
Bentuk Negara :
Kesatuan
Bentuk Pemerintahan :
Republik
Sistem Pemerintahan :
Presidensial
Konstitusi :
UUD 1945
6.
Sistem Pemerintahan Periode
1998-Sekarang
Lama Periode :
21 Mei 1998-Sekarang
Bentuk Negara :
Kesatuan
Bentuk Pemerintahan :
Republik
Sistem Pemerintahan :
Presidensial
Konstitusi :
UUD 1945
Dinamika Negara-bangsa Indonesia:
Masa Sentralisasi dan Fase Awal Otonomi Dareah Masa Sentralisasi
Sembilan dinamika kehidupan negara-bangsa Indonesia pada
masa sentralisasi khususnya masa Orde Baru sebagai berikut:
1. Pembangunan ekonomi dalam artian
pertumbuhan ekonomi berjalan baik. Pemerintah Orde Baru berhasil memperbaiki
situasi ekonomi dari keterpurukan pada akhir masa Orde Lama, ditandai oleh pertumbuhan
ekonomi yang pesat, menaiknya pendapatan perkapita penduduk dan menurunnya
angka kemiskinan secara berarti. Menurut booth (2000).
2. Walaupun pertumbuhan ekonomi tinggi
dan angka kemiskinan menurun, pemerataan ekonomi tidak terjadi. Hal yang terjadi
adalah ketimpangan ekonomi yang besar. Terjadi ketimpangan ekonomi antara perkotaan
dengan perdesaan. Menurut booth (2000:75-77), dan antara Pulau Jawa dengan luar
Pulau Jawa.
3. Ciri yang menonjol lain semasa
sentralisasi utamanya semasa Orde Baru adalah terciptanya keamanan yang kuat,
ditandai oleh beberapa hal. Pertama, konflik-konflik agraria tidak banyak
terjadi dan apabila terjadi hanya dalam waktu yang tidak lama. Akibatnya, para
investor perkebunan, pertambangan dan real estate aman dari gangguan penduduk
tempatan. Kedua, konflik antara buruh dengan perusahaan juga jarang terjadi,
sehingga perusahaan aman dari gangguan buruh. Ketiga, konflik SARA hampir tidak
terjadi. Pada saat itu terkesan terjadi integrasi yang baik. Akan tetapi,
benarlah kritikan para ahli pada masa itu bahwa ketiadaan konflik yang berarti
hanyalah integrasi semu. Terbukti ketika negara lemah pada tahun 1998,
konflik-konflik menjamur bak cendawan tumbuh setelah musim penghujan. Ternyata
keamanan yang tercipta pada zaman Orde Baru adalah situasi yang dipaksakan
dengan kekerasan yang dilakukan oleh tentara dan polisi, bukan atas kesepakatan
bersama dan dengan kesukarelaan.
4. Pada masa sentralisasi, perencanaan
pembangunan terpusat di pemerintah pusat dengan kekuatan tawar yang lemah dari
pemerintah kabupaten/kota dan provinsi terhadap kebijakan yang dibuat.
Akibatnya, muncul kebijakan pemerintah yang tidak responsif terhadap situasi lokalitas.
Menurut Schiler (2002:4), seorang ahli politik lokal dari Australia, sebagai
ketidakpekaan yang tersentralisasi. Formula-formula pembangunan semua mengalir
dari pusat ke daerah-daerah. Tidak berarti pemerintah daerah pasif, tetapi
kreativitas aparatur pemerintah lokal hanya terbatas pada implementasi
kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat (Lih. Schiller 1996 dan
Hidayat 2000).
5. Pada masa sentralisasi, kontrol
sosial oleh pemerintah lokal terhadap situasi lokal lemah. Kontrol pada
dasarnya berada ditangan instansi-instansi pemerintah pusat.
6. Didaerah terbuka hanya sedikit
kesempatan bagi orang-orang awam untuk mengekspresikan perasaan mereka tentang
kesenjangan kelas, agama dan etnisitas. Hal ini disebabkan oleh penyampaian
aspirasi mereka diredam dengan kekerasan oleh pemerintah.
7. Terjadi pengikisan lokalitas secara
terstruktur. Cara-cara pengelolaan kehidupan ala lokalitas tidak diakui dan
bahkan disingkirkan dengan strategi homogenisasi, upaya penyeragaman di seluruh
daerah. Penerapan Undang-undang Pemerintah Daerah No.5/1979 adalah salah satu
contoh penyeragaman tersebut. Diberlakukannya penyeragaman organisasi pegawai
negari (KORPRI), Karang Taruna sebagai organisasi pemuda, PKK sebagai
organisasi perempuan dan P3A sebagai organisasi petani pengguna air dengan
struktur yang sama merupakan contoh-contoh lain dari penyeragaman tersebut.
8. Ciri lain era sentralisasi yaitu,
lemahnya masyarakat sipil. Tidak ada perlawanan yang berarti dari rayat atas
kebijakan dan perbuatan aparatur negara. Walaupun terjadi gejolak pada awal
1990an, gejolak tersebut sebentar dan tidak menggoyahkan kekuasaan pemerintah.
Sepertinya semua orang manut dan cuek terhadap pemerintah. Media menjadi
penyalur informasi dari pemerintah dan organisasi masyarakat sipil tidak
berkembang. Kalaupun berkembang, pekerjaan mereka lebih terfokus kepada
pembangunan dan penyaluran bantuan (lih Eldrige 1999). Memakai istilah Schiller
(2001), negara pada saat itu menjadi penentu daya. Dalam situasi seperti ini,
tercipta suasana yang sangat mengenakkan bagi pemerintah. Berbuatlah apa yang
kamu suka, kamu akan aman, karena masyarakat akan diam.
9. Ciri yang lain adalah pekerjaan
aparatur pemerintah berkualitas rendah. Pada masa itu muncul sinyalemen bahwa
pekerjaan aparatur pemerintnah ABS (Asal Bapak Senang) yang berarti pekerjaan
dilakukan untuk memuaskan atasan bukan rakyat sebagai orang yang dilayani.
Semua orang hanya berusaha untuk menyenangkan atasan dengan melakukan apapun
termasuk apa yang disebut sebagai “menjilat” untuk menyenangkan atasan mereka.
Konsekeuensinya, kualitas pelayanan publik dan pembangunan tidak menjadi pertimbangan
utama aparatur pemerintah
Pancasila dan Primordialisme
Fenomena
lain yang dapat dilihat sebagai permasalahan bangsa Indonesia adalah lunturnya
kepercayaan warga negara Indonesia terhadap Pancasila, atau bisa disebut
pudarnya nasionalisme warga negara. Pancasila memang pada awalnya didesain
untuk menampung seluruh keanekaragaman kebudayaan bangsa Indonesia sekaligus
sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara tiap-tiap warga negaranya.
Pancasila dipahami sebagai esensi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, namun
seberapa efektif nilai-nilai luhur bangsa Indonesia tersebut dapat selaras
dengan implementasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Adalah
kenyataan bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beraneka ragam, di atas ribuan
pulau, dari Sabang sampai Merauke hidup ratusan suku, bahasa, dan etnik, yang
menganut berbagai agama, tetapi dari keanekaragaman tersebut Indonesia rawan
konflik. Konflik dapat berbentuk primordial bersifat horizontal, misalnya antar
suku, sentimen agama, antara penduduk asli dan pendatang. Tetapi ada juga
konflik yang bersifat vertikal, yaitu antara rakyat biasa dengan penguasa yang
dapat dikenal antara “masyarakat” dan “mereka”. Dengan begitu sudah tentulah
bangsa Indonesia menuju disintegrasi, kesadaran masyarakat akan heterogenitas
semakin menurun, bahkan banyak yang merasa acuh tak acuh.
Rezim orde
baru menekan perilaku politik masyarakat yang sebetulnya sangat mendasar
seperti harapan, tuntutan, kritik, dan penolakan terhadap pemerintah. “Mereka”
seakan – akan tidak peduli dengan “kami”, “mereka” membangun untuk mereka
sendiri, sedangkan “kami” tidak dapat menikmatinya karena merasa sama sekali
tidak dilibatkan dalam pembangunan itu. Kemudian muncullah perpecahan sosial
yang sangat rentan diprovokasi oleh segelintir pihak dan mempunyai akibat yang
sangat memprihatinkan seperti kerusuhan, perusakan, pembakaran, penjarahan,
jika sudah begitu masyarakat memikirkan dirinya sendiri, ada yang asyik
menjarah benda – benda berharga dan ada juga yang “asyik” merinding melihat
sisi gelap manusia, inikah sebenarnya potret bangsa Indonesia? Yang katanya
makmur oleh pembangunan, tetapi di balik tembok kemakmuran ada kemelaratan,
ketertindasan individu atau golongan akibat perbedaan status sosial maupun
status politik masyarakat. Tercermin dari sana identitas kita sebagai bangsa
Indonesia adalah samar – samar, rasa sebagai satu kesatuan tampak memudar.
Kebangsaan
secara hakiki hidup dari penghayatan. Suatu bangsa mempunyai identitas atau
disebut “identitas kebangsaan”. Bangsa Indonesia memiliki identitas kebangsaan
berupa beranekaragamnya suku, kelompok etnis, golongan agama, budaya, bahasa,
dan membentuk identitas primordial. Primordial yang merupakan ketertanaman
nilai – nilai, perasaan – perasaan, wawasan – wawasan yang tersosialisasikan
sejak kecil merupakan syarat keutuhan personal dan psikis seseorang. Tetapi
akan berbeda lagi jika primordialisme tersebut berkembang menjadi
primordialisme fanatik, manusia sudah tidak menganggap lagi pluralitas sebagai
kesatuan bangsa, keterikatan primordial menjadi lebih dominan di dalam dirinya,
berbahaya karena akan ada kecenderungan menguasai golongan lain karena merasa
dirinya ( dalam konteks individu ) atau golongannya ( dalam konteks sosial )
lebih baik dari yang lain. Konflik horizontal seperti penyerangan-penyerangan
terhadap kelompok Ahmadiyah, pembakaran Pura umat Hindu di Lombok, pembubaran
pengajian Syi’ah di Pasuruan sebenarnya tidak perlu terjadi jika adanya
pemahaman toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan nilai tersebut
sudah tercantum dalam Pancasila mulai dari sila pertama sampai kelima yang
tidak dapat terpisahkan.
Oleh karena
itu untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan sebagai bangsa yang pluralis
dibutuhkan demokrasi dan keadilan sosial, dengan keterbukaan di mana harapan,
tuntutan, kritikan, dan penolakan masyarakat dapat terungkap dan tersalurkan
sehingga terbangunlah interaksi kita sebagai bangsa Indonesia yang lebih
komunikatif dan adil. Segala bentuk ego primordialisme dapat ditekan, dan
dengan menyadari kepluralan bangsa Indonesia kita merupakan integrasi yang kuat
dan mempunyai identitas sosial. Keterikatan sebagai satu bangsa menumbuhkan
rasa nasionalisme, tinggal bagaimana caranya rasa nasionalisme ini dikelola
sehingga bermanfaat bagi kelangsungan bangsa dan negara Indonesia, bukan
sebaliknya, rasa nasionalisme berlebihan “memicu” primordialisme fanatik
sebagai bangsa Indonesia di antara bangsa – bangsa yang lain yang ada di dunia.